Saturday, October 19, 2019

Pamali. Sebuah Penyikapan.


©PemudaAbad21

"Bang.. kalo makan udah diatas meja jangan turun ke bawah! Nanti udah jadi orang gede turun lagi karirnya"



"Bang... Kalo makan tuh jangan setengah setengah. Kalo udah gak mau di makan, jangan dimakan lagi, nanti kalo punya hubungan putus nyambung"





Itu adalah salah 2 kalimat yg sering bgt Mama gue lontarkan ke gue.



Jadi yaa... Nyokap gue itu berasal dari keluarga Sunda yaa. Kalimat yg beliau sering lontarkan itu adalah sebuah bentuk pengaplikasian apa yg disebut PAMALI dalam budaya Sunda.





Simplenya. Pamali ada sebuah budaya dimana. Kalo kita melakukan hal yg gak sesuai dengan "Norma" PAMALI, kita bakal mendapatkan effect negatif dari itu. Yaa effectnya memang selalu berbuah negatif.

Trus? Gimana penyikapan gue?



Jujur. Gue nurut. Tapi bukan berarti gue percaya. Dan tidak akan menurunkannya ke anak gue kelak. Kenapa?



Gue bakal lihat dari 2 sisi. Sisi Agama dan Sisi Psikologis.

Kita mulai dari sisi agama dulu.

Mengapa gue harus nurut walau gue berusaha untuk gak percaya.

Karena...





Birrulwallidain.



Atau bentuk bakti gue aja gitu. Mematuhi apa yg orang tua gue katakan. Apalagi disini konteksnya perintah orang tua (Ibu). Gue lebih memillih melihat konteksnya sebagai bentuk kepatuhan dan kebaktian, sebab gue takut. Kalo gue gak patuhi dan turuti gue bakal dosa. Yaa sesimpel itu. Jadi secara aksi gue patuh namun bukan pada konteks budaya namun lebih kepada motif agama.



Kalo ditelisik secara sisi psikologi dan medis. Jelas ini adalah praktik dari Nocebo Effect. Yang apabila terus menerus dibiasakan dan didawamkan akan menjadi sugesti negatif. Kalo akal gue mengiyakan sugest ini. Maka yang yg tadinya hanya berupa Suggest akan berbuah menjadi realita. Karena terus dibiasakan dan didawamkan. Maka dari itu kognisi gue selalu memfilternya dengan Defense Mechanism. Agama. Yaa itu cara terbaiknya menurut gue. Agama yg membuat gue tetap waras. Atas budaya pamali yg menurut gue tidak ada relevansinya dalam segi akal sehat.



Tapi... Seringnya pamali ini terjadi bukan karena kekuatan budayanya. Tapi kekuatan DOA nya.

Loh kenapa jadi DOA?



Gue pernah dengar salah seorang asatidz atau usadz berkata.



Hati hati dengan apa yg keluar dari mulut orang tua. Apalagi Ibu. Karena Doa nya tidak ada lagi Hijab kepada Allah. Dan dari posisi Ibu akan lebih mudah dikabulkan doa yg buruk buruk sedangkan dari posisi ayah akan lebih mudah dikabulkan doa yg baik baik. Maka jaga hati ibu, dan minta restu lah dari ayah. Begitu kata seorang asatidz.



Maka dari itu. Kala kuliah psikologi sosial dahulu. Ketika dosen gue bertanya. Apa yg paling gue takuti di dunia ini. Saat itu jawaban gue.



"Saya paling takut dengan apa yg diucapkan oleh Ibu saya"



Nah. Sekarang. Apakah gue akan menerapkan hal yg sama nanti bila jadi orang tua pada anak.



Walau gue mendapatkan budaya ini sedari kecil. Tapi kelak gue gak akan melanggengkan hal ini. Semoga istri gue kelak pun tidak.



Karena seperti yang gue jelaskan diatas tadi secara psikologi. Menurut gue Pamali memberikan Effect Nocebo pada pendengar. Sugesti negatif yg terjadi karena sering didawamkan dan dibiasakan. Hingga yg gue takutkan hal ini akan terepress ke bawah sadar anak gue. Sehingga apabila anak gue mendapatkan kesialan/hal buruk hal yg akan dipikirannya dan dilakukannnya pertama kali bukan lah melakukan refleksi, evaluasi atau koreksi diri, yg ada ia akan berkata dalam hati atau berkata.



"Wahh ini pasti karena kuwalat nih,karena pamali"



Jadi dia akan mempunyai mental menyalahkan apa yg ia lakukan ketimbang merefleksikan apa yg sebaiknya ia perbaiki atau betulkan. Sibuk menyalahkan tapi tak ada evaluasi. Gawat sekali.



Sejujurnya gue sadar.



Sebetulnya pamali itu erat kaitannya dengan adab.



"Makan harus dihabiskan. Jangan setengah setengah, nanti putus nyambung hubungannya"



Kalo ditelisik ini kan sebenenarnya perkara adab.



Secara gak langsung kalimat perintah itu sebenarnya berbunyi.



"Makanlah secukupnya. Jangan berlebihan, ketahui batas perut mu"



Itu! Sebenarnya itu pesan adabnya. Tapi di balut "budaya" pamali. Agar sang anak lebih patuh. Lebih obey pada perintah orang tua lewat pendekatan ancaman.



"Nanti hubungannya putus nyambung"



Nah pesan dari gue sih. Bijak bijak lah membiasakan, kebiasaan pada anak. Karena dari kebiasaan lah akan mempengaruhi cara berpikir, berkata hingga pengambilan keputusan.

Semoga aku, kamu, kita kelak bisa jadi role model yg lebih baik bagi anak anak dan keturunan kita kelak yah. Amin

No comments:

Post a Comment